Jumat, 01 Mei 2009

MENCARI SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA

 
MENCARI SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA 
 
Prof. Dr. Sofian Effendi 
 
 
Assamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Salam sejahtera bagi kita semua 
 
  Terlebih dulu saya ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya 
kepada Rektor dan Ketua Senat Universitas Pancasila yang telah memberi kehormatan 
kepada saya untuk menyampaikan Orasi pada majelis yang  terhormat ini dalam rangka 
memperingati Dies Natalis Universitas Pancasila yang ke 40 dan Upacara Wisuda 
Semester Genap Tahjun Akademik 2006/2007.  
Perkenankanalah saya mengawali uraian saya dengan menyampaikan ucapan 
Selamat Dies Natalis ke 40 kepada Pimpinan Universitas, Ketua dan anggota Senat, serta 
seluruh civitas akademica Universitas Pancasila. Saya juga menyamapaikan ucapan 
selamat kepada para wisudawan dan widuawati semua yang pagi ini tentunya mamat 
berbahagia karena semua kerjakeras mereka selama ini telah membuahkan hasil yang 
sangat membanggakan diri sendiri serta keluarga mereka. Semoga Universitas Pancasila 
selalu jaya dalam mengembann misinya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan 
teknologi yang dijiwai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah dasar negara 
Republik Indonesia, dan selalu berada dalam lindungan dan ridlo Allah subhanahu wa 
taala. Amin ya rabbal alamin. 
Orasi ini saya beri judul „Mencari Sistem Pemerintahan Negara“ karena  didorong 
oleh keprihatinan yang mendalam mengikuti perjalanan  kehidupan kenegaraan bangsa 
Indonesia setelah MPR-RI dalam waktu 4 tahun sejak 2001 telah mengadakan perubahan 
mendasar terhadap Undang Undang Dasar 1945. Masalah Sistem Pemerintahan Negara 
tersebut saya pandang perlu disampaikan pada majelis yang mulia ini karena selama ini 
pemahaman praktisi dan teoritisi Indonesia tentang bentuk  dan susunan pemerintahan 
yang melandasi perubahan UUD 1945 terlalu didorong oleh semangat untukk 
menjungkirbalikkan Orde Baru dengan seluruh tatanannya dan sistemnya, tetapi kurang 
didukung oleh pengetahuan konseptual tentang sistem pemerintahan negara.    2
Sebagai warga bangsa kita menyaksikan dan merasakan berbagai perkembangan 
yang menghawatirkan dalam kehidupan kenegaraan setelah UUD hasil 4 kali amandemen 
dilaksanakan.  Kekuasaan legislatif yang „too strong“ ternyata telah berkembang menjadi 
salah satu faktor penyebab  lambannya pelaksanaan berbagai kebijakan dan program 
eksekutif yang pernah dijanjikan selama  masa kampanye Calon Presiden dan Wakil 
Presiden. Posisi politik Presiden SBY yang  amat lemah, karena diusung oleh partai 
minoritas, telah menyebabkan beliau haurs mengadakan akomodasi politik dengan partai 
politik yang berakibat Kabinet Indonesia Bersatu tidak didukung sepenuhnya oleh  
perofesional seperti yang semula diinginkan oleh Presiden. Pembentukan Unit Kerja 
Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) sempat mendominasi 
pemberitaan di berbagai media di tanah air pada akhir Oktober dan awal November, dan 
sempat menjadi ganjelan dalam hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden, seperti 
nampak dari wajah-wajah tegang beliau berdua ketika duduk berdampingan dalam kereta 
golf di halaman Istana Negara.  Political gridlock atau kebuntuan politik seperti yang kita 
alami sekarang ini telah menjadi pertimbangan utama para Bapak Bangsa sehingga pada 
Rapat Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 14 
Juli 1945 ditetapkan Negara Republik Indonesia tidak akan menggunakan Sistem 
Parlementer dan Sistem Presidensial karena masing-masng mengandung kelemahan dan 
kekurangan. Pada Sidang  BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 dengan pokok pembahasan 
Undang-Undang Dasar, Dr. Soekiman memprediksikan kalau Sistem Presidensial 
diterapkan dalam konteks politik multi partai, stabiliteit pemerintahan akan tidak tercapai 
apabila Presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan DPR dikuasai oleh partai 
mayoritas. Agar kondisi seperti itu tidak terjadi dalam penyelenggaraan Negara Repbulik 
Indonesia, beliau mengusulkan agar Indonesia menerapkan susunan pemerintahan 
„sistem sendiri“.    
Sebagai bangsa, kita nampaknya harus terus mencari sosok Sistem Pemerintahan 
Negara yang mampu menciptakan stabiliteit politik yang diperlukan sebagai landasan 
pembangunan nasional. Padahal tanpa pembangunan yang masih sangat memerlukan 
investasi modal dan teknologi dari luar  negeri Pemerintah tidak mungkin dapat 
menciptkan kesejahteraan untuk seluruh bangsa Indonesia sebagaimana yang dicita-
citakan oleh para Pendiri Negara.        3
Para Wisudawan dan Hadirin yang saya muliakan. 
Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut 
telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya. Antara 
1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah dilaksanakan dengan 
beberapa modifikasi dalam  susunan pimpinan pemerintahan negara. Indonesia pernah 
menggunakan  dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan 
perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD yang  sama pernah ditafsirkan 
sebagai  single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden 
menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966 
sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi 
kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency). Sejak 2002, dengan 
berlakunya UUD hasil amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai 
pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan 
badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan keuasaan yang  lebih besar 
(stong legislative). Antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem 
pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahn 
yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 
kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).  
Apakah cita-cita para pendiri negara bangsa untuk membentuk pemerintahan 
negara konstitusional yang demokratis serta yag sesuai dengan corak hidup bangsa dapat 
tercapai apabila rel – UUD setiap bangsa dapat diibaratkan sebagai rel yang menuju ke 
tujuan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa – yang mengatur perjalanan pemerintahan 
bangsa tersebut setiap kali diubah arahnya dan dibelokkan? Kondisi seperti itulah yang 
sedang kita alami sebagai bangsa pada saat ini setelah MPR melakukan amandemen 
terhadap UUD 1945.  
Hadirin yang saya muliakan. 
  Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, 
adalah upaya untuk mengadakan peataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat 
di bidnag politik, ekonomi, hukum dan social. Menurut Imawan (Yogyakarta, UGM, 
2004) tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan   4
demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu 
agenda utama reformasi politik adalah  mengadakan amademen terhadap UUD 1945 
untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan 
rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif 
antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemrintah pusat dan 
pemrintah daerah untuk  menciptakan mekanisme  check and balances dalam proses 
politik.  
  Sebetulnya Gerakan Reformasi  tersebut merupakan momentum yang amat baik 
bagi MPR sebagai lembaga pemegang  kekuasaan tertinggi untuk mengadakan 
amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat 
menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut 
tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD telah 
menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem presidensial,  yang menyimpang dari 
bentuk dan susunan negaara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental 
norm sistem pemerintahan Indonesia.  
  Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 
2002 hasil amandemen bahkan  telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan 
eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan 
popular yang besar tidak mampu menjalankan  pemerintahannya secara efektif karena 
tidak mendapat dukungan penuh  dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR.  Political 
gridlocks  semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para 
perancang UUD 1945, hampir 6  dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih 
sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru 
merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).  
Hadirin dan \wisudawan-wisudawati yang saya muliakan, 
Negara Kekeluargaan1
 
 
  Pembentukan negara-negara moderen tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya 
dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara. 
                                                 
1
 Uraian lengkap tentang konsep Negara Kekeluargaan dapat dibaca dalam tulisan Dr. Bur Rsuanto, 
“Negara Kekeluargaan: Soepomo vs Hatta” dalam Kompas, 1999.   5
Penindasan para raja – yang seringkali mempersonfikasikan diri sebagai negara, l’etat 
c’est moi  --  selama berabad-abad di Eropah telah mendorong  kelahiran Gerakan 
Renaissance, yang memberikan pengakuan hak individu dari setiap warganegara. Faham 
individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques 
Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan 
bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dari sistem politik demokrasi yang 
berkembang, setelah bangsa-bangsa tersebut mengalami penindasan oleh para penguasa 
absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah 
masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam 
masyarakat (social contract).     
    Aliran kedua adalah faham kolektivisme, yang tidak mengakui hak-hak 
dan kebebasan individu, beranggapan persatuan yang dilandaskan pada ikatan  kesamaan 
ideologi atau keunggulan ras sebagai dasar  dalam penyusunan negara yang terdiri atas 
pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat madani sebagai struktur. 
Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintah diktator 
totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah 
pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Ze-
dong.  
Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang 
dikenal sebagai   teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan 
Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh  suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. 
Negara ialah alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas 
golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan bourgeoisi 
untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik 
kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan 
menggantikan kaum bourgeoisi.  Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh 
Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai  teori integralistik. 
Menurut pandangan teori ini,  negara didirikan buknalaah  untuk menjamin kepentingan 
individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu 
kesatuan. Negara adalah suatu masyarkat  yang integral, segala  golongan, bagian dan 
anggotanya satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan masyarakat yang organis  Yang   6
terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan 
kesejahteraan bangsa seluruhnya.  
 
Hadirin dan  wisudawan-wisudawati yang saya muliakan, 
 
Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham 
individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme, 
kolonialisme/imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Para  founding fathers 
nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan. Bung 
Karno yang menangkap  kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan 
semangatnya. Hatta memaknai kekeluargaan secara  etis. Sedangkan  Prof. Soepomo 
menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran meta-
teoretikal yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang 
konsep kekeluargaan. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat 
gotong royong, Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial 
dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa, yang bersifat tolong menolong antar 
sesama.             
  Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat 
dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena  itulah setiap negara 
membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, 
hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo  dalam rapat 
BPUPK tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia 
yang akan dibentuk “… harus berdasar atas  aliran fikiran negara yang integralistik, 
negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-
golongannya  dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55).  Dalam negara yang 
integralistik tersebut, yang  merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, 
menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib 
memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah 
interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara 
pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut 
oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.   7
Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara 
Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.    
  Hatta, berbeda dengan Sukarno dan Soepomo, menerjemahkan faham 
kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya 
adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran 
Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik 
bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la 
Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan  tanah bersama yang dikerjakan bersama. 
Jadi, kolektivisme oleh Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat 
produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan 
Bintang, 138-144). 
 
Hadirin dan Wisudawan-wisudawati yang saya muliakan, 
 
  Demokrasi asli  Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara 
Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk 
musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest, 
suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan 
dalam versi Hatta, yang disebutnya  Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah 
konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen 
(Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan 
menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa 
protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak 
menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk  ekonomi nasional 
yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah 
dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.  
Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Hatta telah memprediksikan 
akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala 
kehidupan rakyat, khususnya  dalam ekonomi. Individualisme, menurut Hatta, jangan 
dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita 
kolektivisma itu pada tingkat  yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari 
individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147).       8
  Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan 
(BPUPK) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei - 1 Juli dan dari 10 - 17 Juli 1945, 
dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus 
1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar 
negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno,  bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga 
tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak 
hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi 
kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.  
   
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan. 
Sistem Pemerintahan Sendiri 
Setelah MPR mengesahkan  amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem 
pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut 
ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan 
dari rakyat dan bukan  locus of power,  lembaga  pemegang kedaulatan  negara tertinggi. 
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan 
secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem 
presidensial yang jelas berbeda dengan  staats fundamental norm yang tercantum dalam 
Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945. 
Sistem presidensial  tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi 
tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power)  ke 3 cabang yakni 
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica 
oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa 
kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada 
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial 
para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab 
kepada Presiden.  
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar 
baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat 
dengan cita-cita para  perumus konstitusi,   suatu pemerintahan konstitusional yang 
demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem   9
pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi 
seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan 
bernegara bangsa Indonesia?  
  Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang 
sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang 
Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam  notulen lengkap rapat-
rapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat 
pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita 
dapat menyelami  kedalaman pandangan para  founding fathers tentang sistem 
pemerintahan negara.  
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan 
kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum 
U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan 
Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran 
bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para 
perancang Konstitusi Indonesia.     
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang sayamuliakan. 
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 
memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa 
tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, 
Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil 
kajian empiris untuk mendukung  keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la 
Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk 
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan,  Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya 
Anggota yang Terhormat,  menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan 
lagi di negara Eropah Barat.   
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai 
kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer 
seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem 
tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang 
legisltatif dan eksekutif terdapat  fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya   10
adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai 
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.  
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru 
merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial 
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara  legislatif – eksekutif.  Kedua, sangat 
kaku karena presiden tidak dapat diturunkan  sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, 
cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan 
dengan semangat dbemokrasi.     
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan 
Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil 
BPUPK.  Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan 
sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny  menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, 
Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem 
MPR.  Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem 
presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.  
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 
1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem 
sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan 
eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif 
tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta 
para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, 
adalah ciri dari sistem presidensial.  Sistem pemerintahan khas Indonesia juga 
mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus 
of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen 
dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR 
sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para 
perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih 
belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur 
pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih 
secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR     11
Presiden yang menjalankan kekuasaan  eksekutif adalah mandataris MPR, 
sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif 
(legislative councils).  Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak 
dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-
undang.  
   
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan. 
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli  BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 
Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang 
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan  Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh 
rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat 
kompleks. Karena itu MPR harus mencakup   wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, 
wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, 
MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral. 
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih 
sesuai dengan corak hidup kekeluargaan  bangsa Indonesia dan lebih menjamin 
pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi  untuk terciptanya keadilan sosial, Bung 
Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia.  Dalam struktur pemerintahan 
negara, MPR berkedudukan sebagai  supreme power dan penyelenggara negara yang 
tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai  legislative councils atau 
assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif 
tertinggi, sebagai mandataris MPR.  
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para 
Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari 
keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada.  Sistem majelis yang tidak bi-
kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi 
fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan. 
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan. 
 
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem 
pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan 
amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan   12
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945.  Kalau pemikiran para perancang konstitusi 
tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen 
otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan 
penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya.  Susunan pemerintahan negara yang 
mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam 
pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya 
politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.  
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan,  
MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan 
eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan 
legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan 
eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan 
Presiden tidak dapat saling menjatuhkan  seperti pada sistem parlementer maupun 
presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem 
parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara 
berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.  
 
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan, 
 
Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para 
perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, 
serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. 
Padahal pilihan para  founding fathers tidak dilakukan secara gegabah,  tetapi didukung 
secara empiris oleh penelitian Riggs di 76  negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan 
bahwa pelaksanaan sistem presidensial  sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif 
kemudian berkembang menjadi  constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial 
kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI 
menunjukkan betapa  teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem 
pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan 
ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian 
besar negara-negara di dunia.    13
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI  tanggal 18 Agustus 
1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang 
sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi: 
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. 
Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang 
dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat 
adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling 
tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.     
  Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang 
menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden 
dan Wakil Presiden. 
  Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara ... 
Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah 
ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.  
  Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama 
dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan 
legislatif ... „ 
   
Demikianlah pokok-pokok fikiran para  perancang UUD 1945 tentang susunan 
pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada 
sistem parlementer atau bahaya „political paralysis  “ pada sistem presidensial, apabila 
presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para 
penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem 
semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem 
semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist  model) pada masa-masa awal 
dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala 
Pemerintahan.   
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, 
untuk memahami konsitusi tidak  cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-
pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks 
sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-
satunya cara yang  legitimate untuk menafsirkan konstitusi  adalah dengan memahami 
keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum 
dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan  tersebut diabaikan ketika amandemen 
UUD 1945 dilakukan.    
 
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan, 
 
Mencari Sistem Pemerintahab      14
  Sekarang semakin jelas prediksi para  Bapak Bangsa dan Pendiri Negara yang 
meragukan kemampuan Sistem Presidensial dalam lingkongan politik yang 
terfragmentasi.  Karena itu proses bagi  bangsa Indonesia proses pencarian Sistem 
Pemerintahan Negara yang paling sesuai dalam arti paling mampu menciptakan stabilitas 
politik yang merupakan prasyarat utama dalam pembangunan sistem pemerintahan 
negara yang efektif dan mantap asih harus belum berakhir.  
  Proses pencarian itu pernah dan masih akan dialami oleh banyak bangsa di dunia. 
Amerika Serikat, yang dikenal sebagai contoh negara yang memiliki Sistem Presidensial 
yang paling mantap di dunia,  telah mengalami dan menjalani proses pencarian tersebut 
sekitar 100 tahun setalah Sistem Presidensial diterapkan dalam lingkungan politik 
Amerika Serikat yang ketika itu memiliki 7 partai. Dari tulisan-tulisan Woodrow Wilson 
(1879 dan 1884), Alexander Hamilton (1787)  dan James Madison (1787) yang dikenal 
dengan  The Federalist Papers dapat diikuti diskursus  nasional tentang Sistem 
Pemerintahan Negara. Wilson dalam beberapa tulisannya bahkan berusaha menyakinkan 
bangsanaya untuk menerapkan Sistem Pemerntahan Kabinet yang merupakan ciri Sistem 
Parlementer. Usulan Wilson tersebut ternyata kurang mendapat respons posisit dari para 
politisi Amerika Serikat. Sebagai bangsa besar yang amat menghargai jasa dan pemikiran 
founding fathers, rakyat Amerika memilih untuk tetap mempertahankan The Constitution 
of 1787 dan menyesuaikan dengan perkembangan bangsa dan negara secara bertahap 
melalui amandemen yang prosesnya tidak mudah. Selama 230 tahun Amerika Serikat 
telah mengadakan 27 kali amandemen, atau rata-rata 9 tahun setiap amandemen, sebagai 
tambahan atas Konstitusi yang asli. 
    Bagaimana Indonesia keluar dari kondisi political gridlock yang terjadi karena 
Cabang Eksekutif terdiri datas Presiden yang didukung oleh Partai minoritas dan Wakil 
Presiden yang  secara riil politik lebih dominan kedudukannya, sementara Badan 
Legislatif dikuasai oleh 7 partai politik yang mempunyai agenda politik yang berbeda?   
Nampaknya ada dua strategi besar yang perlu ditempuh oleh bangsa ini. Yang pertama, 
menciptakan lingkangan yang lebih dapat menjamin sistem presidensial dapat berfungsi 
dengan efektif melalui penataan partai-partai politik agar tercipta mayority rule.  Sistem 
Presidensial yang efektif akan terjamin  bila partai pemenang mempunyai posisi yang 
cukup dominan dalam Cabang Eksekutif dan  Legislatif.  Strategi kedua adalah   15
menyesuaikan sistem pemerintahan negara dengan lingkungan politik. Untuk mengelola 
lingkungan politik  terfragmentasi dapat dipilih salah satu dari bentuk sistem 
pemerintahan kolektif, diantaranya Sistem  Parlementer seperti yang diuraikan oleh 
Wilson dalam tulisannya ”Cabinet Government in the United States” (1979)  dan Sistem 
’Cohabitation’ a la Prancis. 
  Dalam lingkungan politik Indonesia yang amat terfragmentasi, Presiden Susilo 
Bambang Yudoyono yang didukung oleh partai minoritas, walaupun mendapat dukungan 
dari 62 persen pemilih pada  Pemilu 1999, menyiasati sikap  ”kurang bersahabat” dari 
DPR yang memiliki kekuasaan politik amat besar melalui akomodasi politik dengan 
partai-partai mayoritas di DPR agar agenda pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu 
dapat berjalan. Kedekatan hubungan ideologis antara  para menteri yang menduduki 
posisi strategis dalam KIB dengan partai induknya di DPR diharapkan akan mampu 
memperlancar pelaksanaan berbagai agenda kerja Pemerintah. Sistem pemerintahan 
seperti tersebut dinamakan Sistem Kabinet oleh Woodrow Wilson, satu-satunya profesor 
ilmu politik yang pernah menduduki jabatan politik tertinggi  di negarinya, Presiden 
Amerika Serikat ke 28 Amerika Serikat selama 2 periode berturut-turut (1913 – 1917 dan 
1917 – 1921). Pilihan kedua, yang dapat ditempuh kalau seluruh bangsa sudah yakin 
betul bahwa Sistem Presidential adalah susunan pemerintahan negara yang terbaik bagi 
bangsa Indonesia, adalah adalah Sistem Pemerintahan  Cohabitation  seperti  diterapkan 
dalam pemerintahan Prancis, dan pada abad 21 oleh  negara Eropa Tumur seperti 
Lithuania dan Azerbaijan. Dalam Sistem Cohabitation ini Presiden sebagai Kepala 
Negara dipilih langsung oleh  rakyat dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan 
dipilih oleh Parlemen.  Sistem ini diterapkan di Prancis oleh Presiden De Gaulle dan 
Mitterand yang tidak mempunyai cukup dukungan di Parlemen. Pada Pemerintahan 
Presiden Chirac digunakan sistem semi-presidensial karena Presiden dan Perdana 
Menteri yang ditunjuk oleh Parlemen berasal dari partai yang sama.   
     Forum Rektor Indonesia yang merupakan organisasi 2680 PT di seluruh Indonesia 
Konvensi Kampus ke III di Yogyakarta  pada 11-12 Juni 2006 mengusulkan agar 
dilakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen setelah mengindentifkasi berbagai 
krisis sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh bangsa sejak UUD terebut 
dilaksanakan. Usul tersebut nampaknya nmendapat sambutan yang cukup luas baik dari   16
Pemerintah, DPD, MPR serta dari berbagai kelompok masyarakat. Melihat realitas 
tersebut, nampaknya bangsa  ini harus bekerja keras dalam pencariannya menemukan 
sistem pemerintahan negara yang memiliki kemampuan dalam merealisasikan cita-cita 
para pendiri bangsa yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap 
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan 
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia 
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 
Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan, 
 
  Demikianlah ulasan saya tentang sistem pemerntahan negara yang sedang dicari 
oleh bagnsa Indonesia.  Pemiiihan sistem pemerintahan negara erlu kita lakukan dengan 
amat hati-hati, harus dilakukan dengan niat luhur untuk mencari sistem yang terbaik bagi 
negara dan rakyat, serta selalu dalam  kerangka upaya untuk merumuskan sistem 
pemerintahan negara yang paling sesuai dengan  staatsfundamental norm atau  landasan 
dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.  
Dalam perjalanan bangsa Indonesia selama 61 tahun telah beberapa kali dilakukan 
pergantian UUD yang telah menyebabkan perkembangan kurang positif dalam perjalanan 
negara dan bangsa. Agar pengalaman pahit seperti itu tidak lagi terjadi dimasa depan, 
saya ingin menghimbau melalui Majelis ini agar para pemimpin bangsa selalu berhati-
hati dalam melakukan perubahan-perubahan atas UUD yang merupakan hukum tertinggi 
di negara ini. Apabila UUD 1945 sebagai  hukum dasar, perubahan harus dilakukan 
sebagai adendum terhadap naskah asli. Dengan cara demikian barulah kita dapat dengan 
bangga menyatakan kita adalah bagsa besar yang menghargai para Founding Fathers 
yang telah meneteskan keringat dan airmata dan mencurahkan darah mereka untuk 
mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  
  Terima kasih atas perhatian dan kesabaran Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian 
mengikuti orasi dalam rangka memperingati Dies Natalis ke 40 Universitas Pancasila dan 
Selamat Berbahagia kepada para wisudawan dan wisudawati sekalian. 
 
Billahi taufik wal hidayah, 
 
Wassala mualaikum warahmatullahi wabarakatuh.   17
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
 
Asshiddiqie, Jimly,  Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakartra, Mahkamah 
Konstitusi Indonesia dan PSHTN, Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia, 2004. 
 
_______________,  ”Membumikan Pancasila dan UUD 1945 Pasca Reformasi”. 
Makalah dismapaikan pada Konvensi Kampus III Forum Rektor Indonesia di 
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11-12 Juli 2006. 
 
Bahegot, Walter,  The English Constitution: The Cabinet. London, Oxford University 
Press, 1961. 
 
Blondel, Jean, “Dual Leadership in the Contemporary World”, dalam Dennis Kavanagh 
dan Geene Peele, eds., Comparative Government and Politics: Essays in Honour of 
S.E. Finer. London, Heinemann, 1984. 
 
Dahl, Robert A., Democracy in the United States: Premise and Performance, 2nd
 ed., 
Chicago: Rand McNally, 1972. 
 
Duverger, Maurice, ‘A New Political System Model: Semi-presidential Government’, 
European Journal of Political Research, 8/1, June, 1982. 
 
Feith, Herbert,  The Decline of Constitutinal Democracy in Indonesia. Ithaca, N.Y., 
Cornell Unversity Press, 1962. 
 
Gramschi, Antonio, Negara dan Hegemoni. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003. 
 
Imawan, Riswanda, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati 
Diri. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2004 
  
Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta, Pustaka Rakyat, 1966. 
  
Laski, Harold J., The American Presidency: An Interpretation. New York: Harper and 
Brothers, 1940. 
   18
Kantor, Henry, “Efforts Made by Various Latin American Countries to Limit the Power 
of the President”, dalam Thomas V. DiBacco, ed.,  Presidential Power in Latin 
American Politics, New York, Praeger, 1977. 
 
Kriegel, Leonard. Essential Works of the Founding Fathers.  New York: Bantam Book, 
1964 
 
Kusuma, Ananda B.,  Lahirnya UUD 1945. Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas 
Indonesia, 2004. 
 
Linz, Juan J. “The Virtues of Parlementarianism”, Journal of Democracy, , Fall 1990.  
 
Rasuanto, Bur, “Negara Kekeluargaan: Soepomo Vs. Hatta, Kompas, edisi   ,1998. 
 
Riggs, Fred N., The Survival of Presidentialism in America: Para-constitutional 
Practices”, International Political Science Review, 9/4. October, 1988. 
 
Sekretariat Negara R.I., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan 
(BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei – 22 Agustus 
1945. Jakarta, Sekretariat Negara R.I., 1998. 
 
Simandjuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta, Grafiti Press, 1994. 
 
Swasono, Sri-Edi, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan, Jakarta, UNJ Press, 2004. 
 
Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Jakarta, Puporis Publishers, 
2002. 
 
Tjokrowinoto, Mulyarto,  Distorsi Reformasi: Suatu Kajian Kritis Terhadap Proses 
Reformasi. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2003. 
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar