Jumat, 08 Mei 2009

Gunung Merbabu adalah gunung api yang bertipe Strato (lihat Gunung Berapi) yang terletak secara geografis pada 7,5° LS dan 110,4° BT. Secara administratif gunung ini berada di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur, Propinsi Jawa Tengah.

Gunung Merbabu dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata "meru" (gunung) dan "abu" (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda.

Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Dilaporkan juga pada tahun 1570 pernah meletus, akan tetapi belum dilakukan konfirmasi dan penelitian lebih lanjut. Puncak gunung Merbabu berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan air laut.


Jalur Pendakian

Gunung Merbabu cukup populer sebagai ajang kegiatan pendakian. Medannya tidak terlalu berat namun potensi bahaya yang harus diperhatikan pendaki adalah udara dingin, kabut tebal, hutan yang lebat namun homogen (hutan tumbuhan runjung, yang tidak cukup mendukung sarana bertahan hidup atau survival), serta ketiadaan sumber air. Penghormatan terhadap tradisi warga setempat juga perlu menjadi pertimbangan.

[sunting] Kopeng Thekelan

Dari Jakarta bisa naik kereta api atau bus ke Semarang, Yogya, atau Solo. Dilanjutkan dengan bus jurusan Solo-Semarang turun di kota Salatiga, dilanjutkan dengan bus kecil ke Kopeng. Dari Yogya naik bus ke Magelang, dilanjutkan dengan bus kecil ke Kopeng. Dari kopeng terdapat banyak jalur menuju ke Puncak, namun lebih baik melewati desa tekelan karena terdapat Pos yang dapat memberikan informasi maupun berbagai bantuan yang diperlukan. Pos Tekelan dapat ditempuh melalui bumi perkemahan Umbul Songo.

Di bumi perkemahan Umbul Songo Anda dapat beristirahat menunggu malam tiba, karena pendakian akan lebih baik dilakukan malam hari tiba dipuncak menjelang matahari terbit. Andapun dapat beristirahat di Pos Thekelan yang menyediakan tempat untuk tidur, terutama bila tidak membawa tenda. Dapat juga berkemah di Pos Pending karena di tiga tempat ini kita bisa memperoleh air bersih.

Masyarakat di sekitar Merbabu mayoritas beragama Budha sehingga akan kita temui beberapa Vihara disekitar Kopeng. Penduduk sering melakukan meditasi atau bertapa dan banyak tempat-tempat menuju puncak yang dikeramatkan. Pantangan bagi pendaki untuk tidak buang air di Watu Gubug dan sekitar Kawah. Juga pendaki tidak diperkenankan mengenakan pakaian warna merah dan hijau.

Pada tahun baru jawa 1 suro penduduk melakukan upacara tradisional di kawah Gn. Merbabu. Pada bulan Sapar penduduk Selo (lereng Selatan Merbabu) mengadakan upacara tradisional. Anak-anak wanita di desa tekelan dibiarkan berambut gimbal untuk melindungi diri dan agar memperoleh keselamatan. Perjalanan dari Pos Tekelan yang berada ditengah perkampungan penduduk, dimulai dengan melewati kebun penduduk dan hutan pinus. Dari sini kita dapat menyaksikan pemandangan yang sangat indah ke arah gunung Telomoyo dan Rawa Pening.

Di Pos Pending kita dapat menemukan mata air, juga kita akan menemukan sungai kecil (Kali Sowo). Sebelum mencapai Pos I kita akan melewati Pereng Putih kita harus berhati-hati karena sangat terjal. Kemudian kita melewati sungai kering, dari sini pemandangan sangat indah ke bawah melihat kota Salatiga terutama di malam hari.

Dari Pos I kita akan melewati hutan campuran menuju Pos II, menuju Pos III jalur mulai terbuka dan jalan mulai menanjak curam. Kita mendaki gunung Pertapan, hempasan angin yang kencang sangat terasa, apalagi berada di tempat terbuka. Kita dapat berlindung di Watu Gubug, sebuah batu berlobang yang dapat dimasuki 5 orang. Konon merupakan pintu gerbang menuju kerajaan makhluk ghaib.

Bila ada badai sebaiknya tidak melanjutkan perjalanan karena sangat berbahaya. Mendekati pos empat kita mendaki Gn. Watu tulis jalur agak curam dan banyak pasir maupun kerikil kecil sehingga licin, angin kencang membawa debu dan pasir sehingga harus siap menutup mata bila ada angin kencang. Pos IV yang berada di puncak Gn. Watu Tulis dengan ketinggian mencapai 2.896 mdpl ini, disebut juga Pos Pemancar karena di puncaknya terdapat sebuah Pemancar Radio.

Menuju Pos V jalur menurun, pos ini dikelilingi bukit dan tebing yang indah. Kita dapat turun menuju kawah Condrodimuko. Dan disini terdapat mata air, bedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang disisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Dari puncak Kenteng songo kita dapat memandang Gn.Merapi dengan puncaknya yang mengepulkan asap setiap saat, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gn.Sumbing dan Sundoro yang kelihatan sangat jelas dan indah, seolah-olah menantang untuk di daki. Lebih dekat lagi tampak Gn.Telomoyo dan Gn.Ungaran. Dari kejauhan ke arah timur tampak Gn.Lawu dengan puncaknya yang memanjang.

Menuju Puncak Kenteng Songo ini jalurnya sangat berbahaya, selain sempit hanya berkisar 1 meter lebarnya dengan sisi kiri kanan jurang bebatuan tanpa pohon, juga angin sangat kencang siap mendorong kita setiap saat. Di puncak ini terdapat batu kenteng / lumpang / berlubang dengan jumlah 9 menurut penglihatan paranormal.

Menuruni gunung Merbabu lewat jalur menuju Selo menjadi pilihan yang menarik. Kita akan melewati padang rumput dan hutan edelweis, juga bukit-bukit berbunga yang sangat indah dan menyenangkan seperti di film India yang sangat menghibur kita sehingga lupa akan segala kelelahan, kedinginan dan rasa lapar. Disepanjang jalan kita dapat menyaksikan Gn.Merapi yang kelihatan sangat dekat dengan puncak yang selalu mengeluarkan Asap.

Kita akan menuruni dan mendaki beberapa gunung kecil yang dilapisi rumput hijau tanpa pepohonan untuk berlindung dari hempasan angin. Disepanjang jalur tidak terdapat mata air dan pos peristirahatan. Kabut dan badai sering muncul dengan tiba-tiba, sehingga sangat berbahaya untuk mendirikan tenda.

Jalur menuju Selo ini sangat banyak dan tidak ada rambu penunjuk jalan, sehingga sangat membingungkan pendaki. Banyak jalur yang sering dilalui penduduk untuk mencari rumput dipuncak gunung, sehingga pendaki akan sampai diperkampungan penduduk. Sambutan yang sangat ramah dan meriah diberikan oleh penduduk Selo bagi setiap pendaki yang baru saja turun Gn.Merbabu. Apabila Anda tidak bisa berbahasa jawa ucapkan saja terima kasih.

Dari Selo dapat dilanjutkan dengan bus kecil jurusan Boyolali-Magelang, bila ingin ke yogya ambil jurusan Magelang, dan bila hendak ke Semarang atau Solo ambil jurusan Boyolali.

[sunting] Jalur Wekas

Tim Skrekanek yang berjumlah lima orang ( Steve, Sigit, Bowo, Hari, Bayu) pertengahan Maret 2005 melakukan pendakian Gunung Merbabu melalui Jalur Wekas. Untuk menuju ke Desa Wekas kita harus naik mobil Jurusan Kopeng - Magelang turun di Kaponan, yakni sekitar 9 Km dari Kopeng, tepatnya di depan gapura Desa Wekas. Dari Kaponan pendaki berjalan kaki melewati jalanan berbatu sejauh sekitar 3 Km menuju pos Pendakian.

Jalur ini sangat populer dikalangan para Remaja dan Pecinta Alam kota Magelang, karena lebih dekat dan banyak terdapat sumber air, sehingga banyak remaja yang suka berkemah di Pos II terutama di hari libur. Wekas merupakan desa terakhir menuju puncak yang memakan waktu kira-kira 6-7 jam. Jalur wekas merupakan jalur pendek sehingga jarang terdapat lintasan yang datar membentang. Lintasan pos I cukup lebar dengan bebatuan yang mendasarinya. Sepanjang perjalanan akan menemui ladang penduduk khas dataran tinggi yang ditanami Bawang, Kubis, Wortel, dan Tembakau, juga dapat ditemui ternak kelinci yang kotorannya digunakan sebagai pupuk. Rute menuju pos I cukup menanjak dengan waktu tempuh 2 jam.

Pos I merupakan sebuah dataran dengan sebuah balai sebagai tempat peristirahatan. Di sekitar area ini masih banyak terdapat warung dan rumah penduduk. Selepas pos I, perjalanan masih melewati ladang penduduk, kemudian masuk hutan pinus. Waktu tempuh menuju pos II adalah 2 jam, dengan jalur yang terus menanjak curam.

Pos II merupakan sebuah tempat yang terbuka dan datar, yang biasa didirikan hingga beberapa puluhan tenda. Pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur Pos II ini banyak digunakan oleh para remaja untuk berkemah. Sehingga pada hari-hari tersebut banyak penduduk yang berdagang makanan. Pada area ini terdapat sumber air yang di salurkan melalui pipa-pipa besar yang ditampung pada sebuah bak.

Dari Pos II terdapat jalur buntu yang menuju ke sebuah sungai yang dijadikan sumber air bagi masyarakat sekitar Wekas hingga desa-desa di sekitarnya. Jalur ini mengikuti aliran pipa air menyusuri tepian jurang yang mengarah ke aliran sungai dibawah kawah. Terdapat dua buah aliran sungai yang sangat curam yang membentuk air terjun yang bertingkat-tingkat, sehingga menjadi suatu pemandangan yang sangat luar biasa dengan latar belakang kumpulan puncak - puncak Gn. Merbabu.

Selepas pos II jalur mulai terbuka hingga bertemu dengan persimpangan jalur Kopeng yang berada di atas pos V (Watu Tulis), jalur Kopeng. Dari persimpangan ini menuju pos Helipad hanya memerlukan waktu tempuh 15 menit. Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang disisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

[sunting] Jalur Kopeng Cunthel

Tim Skrekanek yang berjumlah lima orang (Maulana, Steve, Iwi, Ardy, Sigit) pertengahan September 2004 melakukan pendakian Gunung Merbabu berangkat melalui jalur Kopeng - Cunthel, dan turun mengambil jalur Kopeng Thekelan.

Untuk menuju ke desa Cuntel dapat ditempuh dari kota Salatiga menggunakan mini bus jurusan Salatiga Magelang turun di areal wisata Kopeng, tepatnya di Bumi perkemahan Umbul Songo. Perjalanan dimulai dengan berjalan kaki menyusuri Jalan setapak berbatu yang agak lebar sejauh 2,5 km, di sebelah kiri adalah Bumi Perkemahan Umbul Songo. Setelah melewati Umbul Songo berbelok ke arah kiri, di sebelah kiri adalah hutan pinus setelah berjalan kira-kira 500 meter di sebelah kiri ada jalan setapak ke arah hutan pinus, jalur ini menuju ke desa Thekelan.

Untuk menuju ke Desa Cuntel berjalan terus mengikuti jalan berbatu hingga ujung. Banyak tanda penunjuk arah baik di sekitar desa maupun di jalur pendakian. Di Basecamp Desa Cuntel yang berada di tengah perkampungan ini, pendaki dapat beristirahat dan mengisi persediaan air. Pendaki juga dapat membeli berbagai barang-barang kenangan berupa stiker maupun kaos.

Setelah meninggalkan perkampungan, perjalanan dilanjutkan dengan melintasi perkebunan penduduk. Jalur sudah mulai menanjak mendaki perbukitan yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Jalan setapak berupa tanah kering yang berdebu terutama di musim kemarau, sehingga mengganggu mata dan pernafasan. Untuk itu sebaiknya pendaki menggunakan masker pelindung dan kacamata.

Setelah berjalan sekitar 30 menit dengan menyusuri bukit yang berliku-liku pendaki akan sampai di pos Bayangan I. Di tempat ini pendaki dapat berteduh dari sengatan matahari maupun air hujan. Dengan melintasi jalur yang masih serupa yakni menyusuri jalan berdebu yang diselingi dengan pohon-pohon pinus, sekitar 30 menit akan sampai di Pos Bayangan II. Di pos ini juga terdapat banguanan beratap untuk beristirahat.

Dari Pos I hingga pos Pemancar jalur mulai terbuka, di kiri kanan jalur banyak ditumbuhi alang-alang. Sementara itu beberapa pohon pinus masih tumbuh dalam jarak yang berjauhan.

Pos Pemancar atau sering juga di sebut gunung Watu Tulis berada di ketinggian 2.896 mdpl. Di puncaknya terdapat stasiun pemancar relay. Di Pos ini banyak terdapat batu-batu besar sehingga dapat digunakan untuk berlindung dari angin kencang. Namun angin kencang kadang datang dari bawah membawa debu-debu yang beterbangan. Pendakian di siang hari akan terasa sangat panas. Dari lokasi ini pemandangan ke arah bawah sangat indah, tampak di kejauhan Gn.Sumbing dan Gn.Sundoro, tampak Gn.Ungaran di belakang Gn. Telomoyo.

Jalur selanjutnya berupa turunan menuju Pos Helipad, suasana dan pemandangan di sekitar Pos Helipad ini sungguh sangat luar biasa. Di sebelah kanan terbentang Gn. Kukusan yang di puncaknya berwarna putih seperti muntahan belerang yang telah mengering. Di depan mata terbentang kawah yang berwarna keputihan. Di sebelah kanan di dekat kawah terdapat sebuah mata air, pendaki harus dapat membedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang disisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Dari puncak Kenteng songo kita dapat memandang Gn.Merapi dengan puncaknya yang mengepulkan asap setiap saat, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gn.Sumbing dan Sundoro yang kelihatan sangat jelas dan indah, seolah-olah menantang untuk di daki. Lebih dekat lagi tampak Gn.Telomoyo dan Gn.Ungaran. Dari kejauhan ke arah timur tampak Gn.Lawu dengan puncaknya yang memanjang.

Rabu, 06 Mei 2009

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.

Penelitian CIFOR di bidang tersebut mencakup kajian diantaranya yaitu, penentuan dampak akibat adanya gangguan seperti kegiatan pembalakan, pemanenan hasil hutan non-kayu dan fragmentasi hutan di dalam kawan konservasi keanekaragaman hayati "in situ". Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dari lokasi studi yang terwakili secara ecoregional dapat digeneralisasikan sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji model proses dan spasial.

Dalam sebuah proyek berskala luas, peneliti dari India, Thailand dan Indonesia melakukan kegiatan penelitian dengan bantuan CIFOR dan International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya genetik hutan. Kegiatan yang mencakup berbagai bidang ilmu ini terdiri dari kajian terhadap komponen sumberdaya genetik, ekologi reproduksi jenis yang diteliti dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar lokasi hutan penelitian.

Di Malayasia, contohnya, meskipun berdasarkan temuan dinyatakan bahwa pembalakan terbukti berpengaruh pada semua jenis yang diteliti, tetapi hilangnya keanekaragaman hayati genetik tidak lebih dari 24 persen. Demikian pula hasil kajian dampak pemanenan kayu untuk keperluan papan dan bahan bakar di Thailand yang menunjukkan perbedaan nyata hanya jika pemanenan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi. Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa setelah pembalakan terjadi peningkatan yang nyata terhadap inbreeding jenis-jenis yang diteliti -hasil selanjutnya akan diselidiki lebih jauh pada jenis-jenis Dipterocarpaceae.

Pada tahun 1998, dengan masuknya seorang pakar dari Danish International Development Agency yaitu Dr. John Poulsen, CIFOR meluncurkan suatu gagasan baru dengan proyek yang dilaksanakan di Western Ghats, India. Penelitian yang memerlukan wawancara ekstensif terhadap masyarakat suku setempat dan non-suku ini, berupaya mengevaluasi dampak skala-bentang alam pemanenan hasil hutan non-kayu baik berupa flora dan fauna, termasuk burung, kupu-kupu, mamalia kecil, pohon dan tumbuhan bukan pohon.

Kegiatan lainnya yang merupakan bagian dari proyek tersebut di India menyebutkan bahwa keluarga miskin sangat tergantung pada kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu. Dengan banyaknya hasil hutan non-kayu yang masuk ke pasar maka pemanenan cenderung dilakukan tanpa menghiraukan aspek kelestarian, demikian pula yang terjadi ditengah masyarakat asli yang secara tradisional penghidupannya tergantung dari produk tersebut. Akibatnya, permudaan beberapa jenis tumbuhan penting hampir tidak nampak di beberapa kawasan, sehingga hal ini mengancam menurunnya keanekaragaman genetik jenis-jenis yang bersangkutan.

Di Kalimantan Tengah, para peneliti CIFOR juga melakukan kajian tentang dampak kegiatan pembalakan terhadap keanekaragaman struktur vegetasi, burung, dan mamalia kecil (tikus). Hasil sementara kajian yang membandingkan kondisi burung di lokasi bekas tebangan dan yang tidak ditebang menunjukkan bahwa pembalakan dengan sistem tebang pilih berdampak kurang nyata pada keanekaragaman dan jumlah jenisnya. Hal ini dipengaruhi diantara oleh rendahnya intensitas pembalakan. Dilain pihak kegiatan pembalakan dan faktor bentang alam (posisi topografi dan tingkat kebasahan) berpengaruh negatif terhadap pola struktur komunitas, komposisi jenis serta kelimpahan relatifnya.

Sementara itu data dasar keanekaragaman hayati yang diperoleh dari survey terpadu di Indonesia, Thailand dan daerah cekungan (basin) Western Amazon dan Kamerun memberikan suatu gambaran lebih jauh tentang reaksi penjerapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terjadi pada berbagai tingkat intentitas pemanfaatan lahan. Hal baru lainnya adalah ditemukannya suatu indikator umum dari pola reaksi tersebut diatas yang dapat diketahui dengan menggunakan Plant Functional Types (PFTs), yang dapat menggambarkan adaptasi tumbuhan terhadap perubahan fisik lingkungan. Kajian berbagai disiplin ilmu terkait yang dilakukan di dataran rendah Sumatra, Indonesia, berhasil membuktikan adanya hubungan yang sangat potensial dan bermanfaat antara struktur vegetasi, kelompok kunci jenis flora dan fauna, PTFs dan ketersediaan unsur hara tanah.

Terakhir, di Afrika, peneliti CIFOR bersama dengan mitra kerjanya mempelajari dampak fragmentasi terhadap keanekaragaman genetik. Kajian ini dilakukan di sebuah kawasan yang terdiri dari 22 fragment riverine sebuah bentang alam yang dibuka untuk areal utama peternakan. Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah fragmentasi ini berdampak merugikan bagi mekanisme kerja serangga penyerbuk serta akibat-akibat yang mungkin timbul terhadap keanekaragaman genetik empat jenis pohon penting.